Sabtu, 06 Maret 2010

LATIHAN TUGAS MANDIRI "TUBERKULOSIS"

A.    Definisi
Penyakit Tuberkulosis: adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

B.     Etiologi
Kuman Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis) berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu taha terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

C.    Cara Penularan
Sumber penularannya adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5x24iJWAAK9-bWPe-T1aF3OJaJH1reiQtRia5hcnF8nsFK5PKalmyUcrG4Y7U2g7lQYSqMJfbowjJ50wDAxPHohR8COB2mCTh4a0aptXDa7KuARRQ4TDUCd48z13PdBQArPuIuoEUHj9I/s400/Penyakit+TBC.jpg
(Sumber: http://www.infopenyakit.com/2007/12/penyakit-tuberkulosis-tbc.html)
D.    Manifestasi Klinis
1.      Gejala Umum:
Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.
2.      Gejala Lain Yang Sering Dijumpai :
·         Dahak bercampur darah
·         Batuk darah
·         Sesak napas dan rasa nyeri dada
·         Badan lemah, nafsu makan menurun
·         Berat badan turun
·         Rasa kurang enak badan (malaise)
·         Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
·         Demam meriang lebih dari sebulan.

E.     Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis
1.      Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut
·         Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
·         Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
·         Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
·         Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
·         Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
·         Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
·         Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik.
2.      Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati :
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus Kronik yang tetap menular (WHO 1996).
3.      Pengaruh Infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

F.     Penatalaksanaan Medis
1.      Terapi TBC
Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri, pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan.
Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TBC yang biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TBC yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini.
Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala TBC bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TBC yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TBC akan semakin sulit dilaksanakan.
DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini, dengan tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991 dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000 (http:www.who.int). Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan lagi. Pengobatan TBC menggunakan OAT dengan metode DOTS:
a.       Kategori I (2 HRZE/ 4 H3R3) untuk pasien TBC paru
b.      Kategori II (2 HRZES/ HRZE/ 5 H3R3E3) untuk pasien ulangan (pasien dengan pengobatan gagal atau kambuh)
c.       Kategori III (2 HRZ/ 4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+)
d.      Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I/ II ditemukan BTA (+)
Ket:
H: INH
R: Rifampisin
Z: Pirazinamid
E: Etambutol

2.      Imunisasi
Pengontrolan TBC yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyaki TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG terbuat dari bakteri M tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri M tuberculosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup. Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh. Karena itu, vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia, diberikan sebelum berumur dua bulan.
Imunisasi TBC ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 70-80 persen. Karena itu, walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TBC ini. Karena efektivitas vaksin ini tidak sempurna, secara global ada dua pendapat tentang imunisasi TBC ini. Pendapat pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika Serikat adalah salah satu di antaranya. Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi mereka menjaga ketat terhadap orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa terhadap mereka. Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati. Sistem deteksi dan diagnosa yang rapi inilah yang menjadi kunci pengontorlan TBC di AS.
Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Karena tingkat efektivitasnya 70-80 persen, sebagian besar rakyat bisa dilindungi dari infeksi kuman TBC. Negara-negara Eropa dan Jepang adalah negara yang menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang telah memutuskan untuk melakukan vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa melakukan tes Tuberculin, tes yang dilakukan untuk mendeteksi ada-tidaknya antibodi yang dihasikan oleh infeksi kuman TBC. Jika hasil tes positif, dianggap telah terinfeksi TBC dan tidak akan diberikan vaksin. Karena jarangnya kasus TBC di Jepang, dianggap semua anak tidak terinfeksi kuman TBC, sehingga diputuskan bahwa tes Tuberculin tidak perlu lagi dilaksanakan.
Karena Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak, agaknya masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan melaksanakan vaksinasi ini, jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang, sehingga memudahkan kita untuk mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan terapi DOTS untuk pasien yang terdeteksi. Kedua pendekatan, yaitu vaksinasi dan terapi perlu dilakukan untuk memberantas TBC dari bumi Indonesia.

G.    Pemeriksaan Penunjang
·         BTA
·         Kultur bakteri
·         Dahak SPS (sewaktu, pagi, sewaktu)
1.      Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Penemuan penderita TB dilakukan secara Pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotive Case Finding. Selain itu, semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian.Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
2.      Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Anak
Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit. Sebagian besar diagnosis tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin.
3.      Diagnosis Tuberkulosis (TB)
a.      Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
1)      Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif.
2)      Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang.
3)      Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita diidagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
4)      Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan.
5)      Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan.
6)      Bila tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 ? 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS :
7)      Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
8)      Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
·         Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif.
·         Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
9)      UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk difoto rontgen dada.
b.      Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
Di Indonesia, pada saat ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium Tuberculosis Karena tingginya prevalensi TB. Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium Tuberculosis . Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis. Misalnya pada penderita HIV / AIDS, malnutrisi berat, TB milier dan Morbili.


















Daftar Pustaka

Crafton, John. (2002). Tuberkulosis Klinis. Edisi 2. Jakarta: Widya Medika. 

Situs Resmi RSPI-SS. (2008). Tuberkulosis. Diambil dari http://www.infeksi.com/articles.php? lng=in&pg=57 pada 18 Februari 2010. Jakarta: Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.

http://www.infopenyakit.com/2007/12/penyakit-tuberkulosis-tbc.html
Thomas, Glenn. (2009).WHO:  Stop TB. Diambil dari http://www.who.int/tb/publications/globalreport /2009/update/ en/ index.html pada 18 Februari 2010. Stop TB Department, WHO.
Widoyono. (2008). Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar